Definition List

header ads

Perlombaan Pengiriman Manusia Ke Planet Mars (Jika Tak Tewas Di Perjalanan, Bisa Jadi Anda Menjumpai Ajal Di Sana)

Jejak kaki pertama di Mars nanti mungkin milik robot seperti Valkyrie, yang sedang diuji oleh insinyur Northeastern University, Taskin Padir (kanan) dan Velin Dimitrov. Robot dapat membangun markas sebelum manusia datang. Kemudian mereka melakukan pekerjaan rutin, seperti membersihkan debu dari panel surya. (FOTO: MAX AGUILERA-HELLWEG. DIFOTO DI NEW ENGLAND ROBOTICS VALID)


Berikut ini adalah sebuah artikel menarik yang di lansir dari majalah nasional geographic tentang pengiriman manusia ke planet mars, teknologi apa yang sekarang sedang di persiapkan oleh ilmuwan dan bahaya yang mungkin di hadapi oleh mereka. yuuk kita baca...!

Elon Musk ingin pergi ke  Mars.Dia terkenal pernah berkata ingin meninggal di Mars, asal jangan karena gagal mendarat. Teknologi yang bisa mencegah kecelakaan seperti itu, telah lolos ujian yang penting pada suatu malam Desember silam. Saat itu, roket Falcon 9 yang dibangun oleh perusahaan SpaceX milik Musk lepas landas dari Cape Canaveral, Florida, membawa 11 satelit komunikasi.

Beberapa menit setelah terbang, penggalak (booster) berpisah dari bagian roket yang lain. Sama seperti ribuan penggalak lainnya setelah habis bahan bakarnya, sejak awal mula zaman antariksa. Penggalak biasanya terbakar di atmosfer, dan puing-puingnya menghujan ke laut. Tetapi, bahan bakar penggalak yang satu ini belum habis. Penggalak ini tidak jatuh, tetapi berbalik. Mesinnya menyala lagi untuk memperlambat dan memandu penurunannya ke tempat pendaratan di dekat situ. Dari darat, rasanya seperti menonton film peluncuran yang diputar mundur.

Di pusat kendali peluncuran di Cape Canaveral, dan di pusat kendali misi SpaceX di Hawthorne, California, ratusan wajah insinyur muda menonton bola cahaya yang mendekat di layar video, terpaku. Di pusat kendali peluncuran, Musk berlari keluar untuk melihat langsung. Beberapa detik kemudian terdengar dentum yang mencemaskan. Belum pernah ada yang berhasil mendaratkan roket-penggalak kelas-orbit seperti ini; beberapa kali pertama SpaceX mencobanya, roketnya meledak. Namun, suara ini ternyata hanya dentuman sonik dari penggalak yang turun dengan cepat melalui atmosfer. Suaranya sampai ke telinga Musk persis saat penggalak itu mendarat—dengan lembut, aman, dan akhirnya berhasil. Di depan layar masing-masing, para insinyur bersorak-sorai.

SpaceX baru saja mencapai tonggak penting dalam upaya menciptakan roket pakai-ulang. Musk memperkirakan, teknologi ini dapat memangkas biaya peluncuran hingga 99 persen, memberi SpaceX keunggulan kompetitif dalam bisnis meluncurkan satelit dan mengantarkan persediaan ke Stasiun Luar Angkasa Internasional. Namun, sejak awal bukan itu tujuan Musk. Pendaratan-lunak pertama roket penggalak itu, katanya dalam telekonferensi berita malam itu, adalah “langkah penting dalam mengembangkan kemampuan untuk mendirikan kota di Mars.”


SAMPAI DENGAN SELAMAT. Jarak Mars dari Bumi tak kurang dari 54 juta kilometer, lebih dari 140 kali lipat lebih jauh daripada Bulan. Untuk mengirim astronaut ke sana, diperlukan pesawat antariksa jenis baru yang dapat dihuni secara nyaman berbulan-bulan, melindungi dari radiasi kosmis, dan membawa cukup persediaan untuk pulang. Konsepsi seniman ini, berdasarkan kajian NASA, menampilkan kemungkinan skema. (JASON TREAT, STAF NGM; TONY SCHICK. SENI: STEPHAN MARTINIERE SUMBER: JAMES B. GARVIN, NASA GODDARD SPACE FLIGHT CENTER; JASON C.)


Elon Musk tak hanya ingin mendarat di Mars, seperti astronaut Apollo mendarat di Bulan. Dia ingin membangun peradaban baru di sana, sebelum malapetaka, yang kemungkinan akibat ulah manusia, memusnahkan manusia dari muka bumi. Di Hawthorne, di dekat meja Musk, tergantung gambar kembar Mars di dinding:  Salah satunya menampilkan planet merah gersang seperti keadaannya kini, satu lagi menampilkan Mars biru, yang telah ditransformasi oleh para insinyur, dengan laut dan sungai. Musk membayangkan mengolonisasi Mars, dengan armada kapal antarplanet, masing-masing membawa sera­tus pemukim. Mirip kapal laut Mayflowers yang membawa pemukim Inggris pertama ke benua Amerika, kecuali bahwa pemukim antariksa ini akan membayar 6,5 miliar rupiah atau lebih untuk menumpang di kapal luar angkasa itu.

SpaceX, yang didirikan pada 2002, belum pernah meluncurkan seorang pun ke luar angkasa. Tetapi, mereka berharap bisa mengubah kenyataan itu tahun depan dengan mengangkut astronaut NASA ke stasiun luar angkasa dengan Falcon 9. Perusahaan ini sedang membangun roket lebih besar, Falcon Heavy, tetapi itu pun belum cukup besar untuk membawa manusia ke Mars. Musk berjanji akan mengungkap perincian rencana Mars-nya pada akhir September, (dan hanya beberapa minggu setelah roket SpaceX lain meledak di tempat peluncuran). Tetapi, sebelum ini, belum pernah terlihat tanda-tanda SpaceX telah mengembangkan, apalagi menguji, teknologi lain yang diperlukan untuk menyokong kehidupan dan kesehatan manusia di Mars, atau selama perjalanan panjang ke sana. Namun, Musk mengumumkan pada Juni lalu, bahwa SpaceX menargetkan mengirim astronaut pertamanya ke Mars pada 2024. Kemudian mereka akan mendarat pada 2025.


Pendaratan lunak, agar bisa terbang lagi. Perusahaan dirgantara SpaceX sedang mengembangkan teknologi, yang menurut mereka, kelak akan memungkinkan manusia mendarat di Mars: roket pakai-ulang. Roket Falcon 9 lepas landas dari Cape Canaveral, Florida, untuk mengantar persediaan ke stasiun antariksa. Setelah beberapa menit, penggalak memisahkan diri dari tahap ke dua yang melanjutkan perjalanan ke orbit. Penggalak itu tidak jatuh ke laut, tetapi berbalik dan menyalakan mesin dua kali lagi untuk memperlambat gerakannya dan memandunya untuk melakukan pendaratan lunak di landasan di dekat situ (SPACEX)


“Mereka akan terkenal dan sebagainya,” kata Musk. “Tetapi, dalam konteks sejarah lebih luas, yang penting sebenarnya adalah kemampuan untuk mengirim sejumlah besar manusia, puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang, dan pada akhirnya jutaan ton kargo.”  Itu sebabnya dia memandang roket pakai-ulang itu sangat penting.

NASA, yang mendaratkan manusia di Bulan pada 1969 dan bahkan sudah mulai menjelajahi Mars dengan wahana robot sebelum itu, mengatakan mereka juga berencana mengirim astronaut ke Mars. Tetapi, hal ini baru akan dilaksanakan pada 2030-an dan itu pun hanya mengorbit pla­net merah. Menurut NASA, bagian yang sulit dan berbahaya, yaitu mendaratkan pesawat besar di permukaan, adalah “target ufuk”—target tak bertenggat, yang baru akan dicapai dalam dasawarsa lain. NASA tidak berbicara soal kota di Mars.

Semua orang tampaknya sepakat: Mars adalah tujuan besar umat manusia berikutnya di antariksa. Namun, jelas ada visi bertentangan tentang seberapa mungkin itu dicapai. Astronaut NASA legendaris John Grunsfeld, yang pensiun musim semi lalu sebagai kepala sains lembaga itu, ingat dia pernah diberi tahu pada 1992 bahwa dia termasuk angkatan astronaut yang kelak akan pergi ke Mars. Tahun ini, sebagian berkat The Martian, buku dan film yang laris, NASA menerima 18.300 lamaran untuk angkatan berikutnya—yang paling banyak hanya menerima 14 orang. Grunsfeld masih ingin manusia pergi ke Mars, tetapi juga memegang teguh nasihat yang diberikannya beberapa tahun lalu kepada Charles Bolden, administrator NASA dan sesama astronaut. Nasihat itu perihal berbicara kepada rekrut baru. “Jangan mengatakan bahwa mereka akan ke Mars, karena itu mustahil,” kata Grunsfeld. “Saat itu terjadi, mereka sudah berumur 70-an atau 60-an.”

Kesibukan NASA selama ini, selain merancang roket untuk ke Mars, adalah meneliti cara mengurus para penumpang. Pada Maret, misalnya, astronaut Scott Kelly dan kosmonaut Rusia Mikhail Kornienko pulang ke Bumi setelah 340 hari di stasiun antariksa. Dalam “Misi Setahun” tersebut, mereka menjadi kelinci percobaan dalam kajian tentang pengaruh hidup lama di antariksa (perjalanan pulang-pergi ke Mars mungkin memakan waktu hampir tiga tahun) pada tubuh dan pikiran manusia. Ketika mereka terjun kembali ke atmosfer, kata Kornienko mengenang, kapsul Soyuz mereka berderak-derak seperti mobil di jalan batu. Dia dan Kelly hampir tak bisa bernapas: Setelah setahun tanpa bobot, otot dada dan paru-paru mereka lemah. Dan setelah mendarat di stepa Kazakstan, mereka hampir tak bisa berjalan. Kru darat menggotong mereka dari kapsul, kalau-kalau mereka jatuh dan patah tulang.

Film-film menggambarkan asyiknya keadaan tanpa bobot. Wawancara dengan Kelly dan Kor­nienko dari stasiun antariksa menyiratkan sisi lain. Wajah mereka bengkak, karena cairan menumpuk di situ.  Astronaut bisa terbiasa pada toilet sedot dan bahkan, kata Kornienko, terbiasa menyeka tubuh dengan lap basah selama setahun. Dalam perjalanan ke Mars yang jauh lebih panjang dan lebih berbahaya, pengaruh luar angkasa pada tubuh manusia bisa menjadi masalah besar. “Me­reka akan sakit saat sampai di sana,” kata Jennifer Fogarty, wakil ketua ilmuwan Human Research Program, Johnson Space Center NASA, Houston.

Tulang akan menyusut dalam gravitasi nol:  Patokannya adalah massa tulang menyusut satu persen per bulan. Olahraga giat dapat membantu, tetapi peralatan besar yang digunakan di stasiun antariksa, terlalu berat untuk dibawa ke Mars. Sebagian astronaut di stasiun juga mengalami gangguan penglihatan parah, rupanya karena cairan berkumpul di otak dan menekan bola mata. Dalam skenario terburuk, astronaut mendarat di Mars dengan penglihatan kabur dan tulang rapuh, lalu patah kaki. Secara teori, risiko ini dapat dikurangi dengan memutar pesawat antariksa dengan cepat, menggantikan gravitasi dengan gaya sentrifugal. Namun, para insinyur NASA merasa pilihan itu terlalu memperumit misi.


LANGKAH PERTAMA. Manusia pertama di Mars akan melangkah di lingkungan kejam. Atmosfer tipis akan memberi perlindungan sebagian terhadap radiasi matahari, tetapi mereka perlu membentengi diri terhadap sinar kosmis. Mereka juga harus memanfaatkan sumber daya Mars untuk mendapat oksigen dan air. Ada hampir 50 kemungkinan yang telah diidentifikasi. Tempat ini terletak di area-area yang memiliki kepentingan ilmiah, dengan sumber daya seperti persediaan kaya-air dan dalam jarak 50 derajat dari khatulistiwa, tempat yang paling mudah meluncurkan roket untuk pulang. (JASON TREAT DAN MATTHEW W. CHWASTYK, STAF NGM; TONY SCHICK SENI: STEPHAN MARTINIERE SUMBER: JAMES B. GARVIN, NASA GODDARD SPACE)


Ada pula bahaya radiasi. Astronaut di stasiun antariksa masih dilindungi medan magnet Bumi. Namun, dalam perjalanan ke Mars, mereka akan rentan terhadap radiasi suar matahari dan sinar kosmis. Sinar kosmis khususnya bisa merusak DNA dan sel otak—yang berarti bisa-bisa astronaut tiba di Mars agak lebih bodoh. Salah satu kemungkinan adalah melapisi modul habitat dengan lapisan tebal air, atau tumbuhan yang ditanam di tanah, sebagai perisai radiasi parsial.

Sekadar menyediakan air minum dan udara bernapas untuk astronaut saja sudah merupakan tantangan tersendiri. Suatu hari di Johnson Space Center saya bertemu dengan Kenny Todd, yang menjabat sebagai manajer integrasi operasi untuk stasiun antariksa tersebut.

Sebagian air di stasiun antariksa berasal dari menyaring dan mendaur ulang urine dan keringat. Tetapi, saringan itu kadang tersumbat kalsium—dari tulang astronaut yang menyusut—dan airnya kadang tercemar mikrob. “Menangani urine—sangat merepotkan,” kata Todd. Alat pembersih udara yang menyingkirkan karbon dioksida dari udara juga kadang rusak—seperti hampir semua perangkat lain di stasiun itu. Di orbit Bumi yang rendah, itu tidak masalah; NASA dapat mengirim suku cadang ke sana. Bagi pesawat antariksa yang menuju Mars, hanya tersedia suku cadang yang dapat dibawanya. Semua peralatan penyokong kehidupan, kata Todd, harus jauh lebih andal daripada yang ada sekarang, harus anti-rusak.

Itu tak berarti dia tak ingin mengirim orang ke Mars. Tidak pula dia mengkritik pemimpi yang siap meluncur. “Kita harus mulai dari mimpi,” kata Todd. “Dan kadang-kadang ada mimpi yang terwujud.” Artinya, ada banyak hal yang harus dicari jalan keluarnya.

Itu termasuk hal-hal yang lebih rumit, seperti psikologi manusia. “Misi-misi robot kita berlangsung begitu baik, jadi rasanya aspek perangkat kerasnya sudah beres,” kata Fogarty. “Tetapi, sekarang kita akan menambahkan manusia yang sadar-diri dan punya kemauan ke dalam tim ini. Sudahkah kita benar-benar memahami semua risiko yang ditimbulkan dan memberi mereka bekal untuk menanganinya?”

NASA berusaha memecahkan masalah itu dengan mengadakan misi simulasi di Bumi. Di Johnson Space Center saya mengunjungi salah satu percobaan itu. Di dalam gudang luas tanpa jendela, terdapat bangunan berkubah tiga tingkat, juga tanpa jendela, yang dilapisi bahan kedap suara. Di dalamnya terdapat empat relawan, untuk dikurung selama sebulan, terputus secara fisik dari dunia luar. Melalui tiga belas kamera di dalam habitat ini, para peneliti di “pusat kendali misi,” yang berjarak beberapa langkah, dapat mengamati setiap gerak-gerik mereka dan melihat cara mereka menghadapi pengasingan.

Simulasi ini memiliki keterbatasan. “Jelas kita tidak punya tombol gravitasi-nol,” kata manajer proyek Lisa Spence; para astronaut ini bisa menikmati toilet siram dan pancuran. Tetapi, Spence dan para koleganya mengupayakan agar simulasi ini sedekat mungkin dengan kenyataan. Sementara kami menonton dua relawan berkerumun di ruang sendat-udara yang gelap, mengenakan visor realitas virtual dan mengalami simulasi perjalanan antariksa, kami berbicara dengan lirih, takut terdengar oleh mereka. Tempat itu baru saja dilanda badai besar, diiringi guntur menggelegar; kalau ada orang di dalam modul yang bertanya soal guruh, kata Spence, “kami mengarang cerita konyol tentang cuaca antariksa.”

Perlu kepribadian jenis tertentu untuk misi Mars, menurut para pakar: orang yang sanggup menanggung pengasingan dan kebosanan selama perjalanan panjang, lalu masuk ke gigi lima di Mars. “Kami memilih orang-orang yang berkepala dingin. Meski demikian, pasti akan ada konflik,” kata Kim Binsted dari University of Hawaii di Manoa, yang mengarahkan misi analog lain yang didanai NASA. Dalam misi yang terbaru, enam relawan dikurung selama setahun di habitat Mars tiruan, di lereng gunung berapi.

Namun, tidak ada eksperimen di Bumi yang mampu menyimulasikan dengan tepat perasaan yang timbul akibat terkurung di dalam kaleng kecil jutaan kilometer dari Bumi. William Gerstenmaier, kepala penerbangan antariksa manusia di NASA, memperhatikan sesuatu tentang astronaut di stasiun antariksa. “Mereka sering men-tweet foto kampung halaman,” katanya kepada saya. “Mereka membawa foto stadion football di universitas mereka. Masih ada ikatan yang sangat kuat dengan Bumi.”

Kornienko merasakannya. “Ini bahkan bukan nostalgia; ini bukan perjalanan dinas ke luar kota, saat kita merindukan apartemen, rumah, keluarga,” katanya, tak lama setelah pulang dari setahun di orbit. “Ini soal merindukan Bumi secara keseluruhan. Emosi yang berbeda sama sekali. Kami kekurangan kehijauan, sungguh, tidak ada cukup hutan, musim panas, musim dingin, salju.”

Pada Juni, enam bulan setelah SpaceX mendaratkan penggalak dengan penuh kemenangan, NASA mengadakan uji roket. Ini “uji darat” penggalak berbahan bakar padat, unsur penting dalam Sistem Peluncuran Antariksa, roket yang menurut NASA akan membawa manusia ke ruang angkasa. Ribuan orang berkumpul, dua kilometer dari sana, sementara penyeru menghitung mundur. Pada angka nol, penggalak itu, yang rebah dan terpasang kencang ke tanah, menyala berkobar. Si penyiar mengingatkan semua orang bahwa ini bagian dari “Perjalanan ke Mars” NASA. Semburan api menggemuruh selama dua menit lebih sementara tiang besar asap membubung ke langit dan penonton bersorak.

“Hari ini sungguh luar biasa!” kata Gerstenmaier di konferensi berita setelahnya. Dan uji itu memang luar biasa—hingga batas tertentu, menimbang bahwa roket itu tak benar-benar terbang.

“Kami semakin dekat dengan mengirim astronaut Amerika ke Mars, lebih dekat daripada siapa pun, di mana pun, kapan pun,” tulis Wakil Adminis­trator NASA Dava Newman dalam artikel blog, April silam. Beberapa pengkritik NASA tak merasa demikian. Jelas tidak bagi Wernher von Braun, pembuat roket bulan Saturn V. Pada 1969, dalam euforia setelah pendaratan pertama di Bulan, von Braun mengajukan rencana kepada Presi­den Richard Nixon untuk mendaratkan manusia di Mars pada 1982. Nixon malah memerintahkan NASA untuk membuat pesawat ulang-alik.

Sejak itu, rencana besar untuk keluar dari orbit Bumi rendah datang silih berganti. Gerstenmaier, yang sudah puluhan tahun di NASA, sudah sering mengalami perubahan strategi yang diterapkan oleh para politikus. Dia disuruh mengirim astronaut lagi ke Bulan, lalu mengirim mereka ke asteroid saja, lalu menangkap asteroid dan menyuruh astronaut mengunjunginya di orbit Bulan. Gerst, demikian nama panggilannya, tetap tenang. Dia insinyur yang kalem, bertolak belakang dengan Musk, orang yang tidak ingin berjanji terlalu banyak. Dia ingin ke Mars secara perlahan, metodis, dan berkelanjutan.

Itu berarti secepat siput, kata sebagian pengkritik. “Menyebut bahwa NASA punya strategi [untuk pergi ke Mars] sebenarnya penghinaan untuk kata ‘strategi,’” kata Robert Zubrin, pendiri Mars Society, yang mendukung kolonisasi Mars sebagai “perjuangan terbesar generasi kita.”  Michael Griffin, administrator NASA di bawah Presiden George W. Bush, meyakini misi Mars sulit, tetapi tidak lebih sulit daripada program Apollo: “Dari segi teknologi, saat ini kita lebih dekat ke Mars daripada kita ke Bulan saat Presiden Kennedy menetapkan target itu pada 1961. Kita jauh lebih dekat.”

Namun, kita masih belum mampu membiayai perjalanan ke Mars—dan biaya itulah yang mengandaskan rencana-rencana besar di masa lalu. Pendaratan Apollo di Bulan menelan biaya sekitar 1,8 kuadriliun rupiah dengan nilai uang saat ini. Para pakar memperkirakan perjalanan ke Mars yang realistis akan memakan biaya setidaknya sebesar itu; rencana lengkap yang diajukan di bawah Presiden George H. W. Bush mencantumkan biaya 5,8 kuadriliun rupiah. Tetapi, anggaran tahunan NASA untuk semua penerbangan antariksa manusia hanya sekitar 117 triliun rupiah. Untuk sampai ke Mars sebelum 2040-an, diperlukan uang banyak dan presiden yang memiliki komitmen ala Kennedy. Dalam lomba ke Bulan dengan Uni Soviet, NASA memperoleh lebih dari 4 persen anggaran federal; sekarang sekitar setengah persen. Jika memang ada “lomba ke Mars” dengan Tiongkok, misalkan, itu mungkin membantu, tetapi tampaknya bangsa Tiongkok tidak terburu-buru ingin ke sana.

Apakah kita dapat pergi ke Mars atau tidak, serta kapan waktunya, semata-mata tergantung pada teknologi dan dana. Tergantung pada tingkat risiko yang kita pandang dapat kita terima. Pendukung pendaratan awal berpendapat, NASA terlalu menghindari risiko bahwa penjelajah sejati rela gagal atau mati. NASA dapat mengirim orang ke Mars jauh lebih cepat kalau tidak terlalu mencemaskan apakah mereka akan sampai dengan selamat dan kemudian bermukim di sana.

Pada akhir konferensi berita Gerstenmaier di Utah, seorang wartawan setempat berdiri. Dia berumur 49 tahun, katanya:  Apakah dia akan sempat menyaksikan lelaki sampai di Mars?

“Sempat,” kata Gerstenmaier. Dia ragu sejenak, lalu menambahkan: “‘Lelaki’ mungkin kurang tepat. Anda akan menyaksikan manusia.”

Lalu, Gerstenmaier melanjutkan dengan menjelaskan mengapa perlu waktu sampai 2040-an. NASA perlu mengawali penjelajahannya kembali ke luar angkasa dengan misi-misi ke “Tanah Pembuktian,” katanya, yaitu ke sekeliling Bulan dan beberapa tempat di dekatnya di antariksa. Itu akan dilanjutkan pada 2030-an dengan menempatkan astronaut di orbit Mars. “Kalau melihat tantangan untuk mendaratkan kru ke permukaan, ini akan menambah kerumitan kegiatan ini sepu­luh kali lipat,” kata Gerstenmaier kepada saya sebelumnya. “Itulah yang menyebabkan perkiraan saya adalah setelah 2030-an.”

Tetapi, mungkin di bidang inilah SpaceX dapat membantu. Mars itu jauh lebih keras daripada Bulan, lebih sulit melakukan pendaratan lunak pesawat antariksa di sana. Gravitasinya lebih besar, dan atmosfernya cukup tebal untuk menimbulkan panas berlebih. Sudah banyak wahana nirawak yang kandas di Mars. NASA pernah mendaratkan penjelajah (rover) seberat hampir satu ton, Curiosity. Tetapi, muatan yang cukup besar untuk membawa manusia dan persediaan, ukurannya akan sebesar rumah dan berbobot sekurangnya 20 ton.


Foto berteknik long exposure yang mengabadikan seluruh proses peluncuran; berkas cahaya lurus di kanan adalah jalur pulang penggalak itu. (MICHAEL SEELEY)


Solusi yang paling menjanjikan saat ini adalah teknologi yang sedang dikembangkan SpaceX: retropropulsi supersonik. Saat penggalak Falcon 9 turun dengan kecepatan supersonik melalui atmosfer atas Bumi yang tipis, kondisi ini menyerupai kondisi di Mars. Berkat kesuksesan di Cape Canaveral pada Desember silam, serta pendaratan selanjutnya di kapal di lepas pantai, begitu banyak orang kini berkata bahwa mengirim orang ke Mars itu tidak mustahil—meski belum pasti. Di Kennedy Space Center, SpaceX menyewa Launch Pad 39A, tempat astronaut Apollo 11 lepas landas ke Bulan. Perusahaan itu muda, lincah, dan berani, seperti NASA pada masa itu; NASA kini lamban, birokratis, dan hati-hati. Tetapi, kedua organisasi ini bukan lawan dalam persaingan, tidak pula sedang berlomba. Mereka bermitra. SpaceX sudah mengirim persediaan ke stasiun antariksa dalam kapsul Dragon yang diangkut pada Falcon 9. Pada April, Musk mengumumkan bahwa SpaceX ingin mengirim kapsul Dragon tanpa awak ke Mars pada 2018. Untuk melakukan itu, dia memerlukan dukungan teknis NASA, khususnya antena radio raksasanya, yang memungkinkan pesawat antariksa berkomunikasi dengan Bumi.

Untuk mengirim orang ke Mars, SpaceX perlu bantuan jauh lebih banyak—tiket 6,5 miliar rupiah tidak banyak membantu menutup biayanya, dan pengetahuan teknis NASA diperlukan untuk mempertahankan nyawa para pelancong itu. Di sisi lain, NASA dapat memanfaatkan roket, kapsul, dan antusiasme SpaceX. Kemungkinan besar mereka akan ke Mars bersama-sama, jika memang jadi ke sana. (Musk sendiri pernah menyiratkan demikian.) Kapan mereka ke sana? Kalau ini kemitraan, lebih mungkin mereka mengikuti jadwal NASA yang lebih hati-hati. Apa yang akan mereka lakukan setelah sampai di sana? Jauh lebih mudah membayangkan beberapa ilmuwan melewatkan satu-dua tahun di stasiun riset kecil di Mars, seperti yang ada di Antartika, daripada membayangkan ribuan orang beremigrasi secara permanen ke metropolis Mars.

“Orang yang mengira ingin tinggal di Mars—saya anjurkan mereka tinggal di stasiun di Kutub Selatan selama musim panas, atau lebih bagus lagi, selama setahun,” kata Chris McKay, ilmuwan NASA dan pakar Mars yang pernah bekerja di Antartika. Menyiratkan bahwa manusia dapat berlindung di Mars setelah merusak Bumi adalah hal yang “absurd secara etika dan teknis,” kata McKay. “Saya rasa kita harus menganut anggapan bahwa kegagalan di Bumi itu bukan pilihan. Pemikiran bahwa Mars adalah sekoci penyelamat kita itu jauh lebih tragis daripada tragedi Titanic.”

Mikhail Kornienko menyarankan ujian tinggal lama di stasiun antariksa untuk menyaring para peminat yang mengira mereka ingin menetap di Mars. Tak lama setelah dia pulang dari luar angkasa tahun ini, dia mengenang momen saat kru darat membuka tingkap kapsul Soyuz. “Udara stepa masuk ke kabin, dan saya pun memahami bahwa segalanya telah berakhir,” katanya. “Tidak puas-puasnya saya menghirup udara ini. Ingin saya mengirisnya dengan pisau dan mengoleskannya pada roti.”  

Oleh Joel Achenbach